Rupiah Bisa Menguat di Bawah Rp 14.000/US$? BI: Itu Sulit
Jakarta, CNBC Indonesia - Tensi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China masih mendidih. Ini setelah Presiden AS Donald Trump mengungkapkan akan menaikkan tarif atas barang-barang asal China senilai US$ 250 miliar menjadi 30% pada 1 Oktober 2019.Sebelumnya, tarif atas barang-barang China lainnya senilai US$ 300 miliar yang mulai berlaku 1 September 2019 juga dinaikkan dari 10% menjadi 15%. Semua itu tentu berdampak kepada dinamika perekonomian global. Hal itu tak dimungkiri oleh Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Destry Damayanti.
Ditemui wartawan selepas menghadiri UOB Economic Outlook 2019 di Jakarta, Rabu (28/8/2019), Ia memberikan penjelasan terkait efek perang dagang AS-China yang masih panas terhadap rupiah.
"Rupiah bergerak (dari) Rp 14.100, terus jadi Rp 14.200, terus bergerak," kata Destry.
Kendati demikian, dia menyebut tidak hanya Indonesia, negara-negara lain mengalami situasi serupa. Ini karena perang dagang dengan AS telah mendorong China melakukan depresiasi terhadap Yuan.
Yuan, menurut dia, merupakan simbol dari mata uang emerging market. Sekali yuan terdepresiasi, maka mata uang lain akan terdorong melemah.
"Peran BI bagaimana menjaga market. Ini kan masalah confidence (kepercayaan diri) bahwa so far (sejauh ini) ekonomi Indonesia terjaga. Inflasi, fiscal prudent. Kapanpun mereka butuh likuiditas, kami bisa siapkan melalui DNDF [Domestic Non-Deliverable Forward], forward market. Mereka tak perlu cari keluar," ujar Destry.
"Ini bisa meredam volatilitas yang terjadi di luar. Tentu kita tak berharap rupiah langsung menguat di bawah Rp 14.000/US$. Itu sulit. Tapi setidaknya kita bergerak bersama negara yang lain, dengan volatilitas terjaga," lanjut eks Anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan itu.
[Gambas:Video CNBC] (miq/dob)
Halaman Selanjutnya >>>>
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Rupiah Bisa Menguat di Bawah Rp 14.000/US$? BI: Itu Sulit"
Post a Comment