Para Ekonom Respons Negatif Wacana Amnesti Pajak Jilid II
Jakarta, CNBC Indonesia - Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai wacana dari kalangan dunia usaha agar pemerintah memberlakukan amnesti pajak jilid kedua belum mendesak. Indef menyebut pemerintah harus lebih fokus pada reformasi perpajakan daripada amnesti pajak.Sebelumnya Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Perkasa Roeslani beberapa waktu lalu. Merespons hal itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati lantas memberikan sinyal untuk menimbang kembali soal kebijakan amnesti pajak.
"Kalau di dunia ini mungkin, itu semuanya mungkin, semua pengusaha aja kan harus optimistis. Apa itu yang terbaik [amnesti pajak], kita pikirkan sama-sama deh," kata Sri Mulyani menjawab pertanyaan Rosan perihal kemungkinan tax amnesty jilid II.
Amnesti pajak memang bisa mendatangkan penerimaan pajak yang cukup besar dalam jangka pendek. Apalagi, Indonesia masih mencatatkan defisit anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019. Lalu, pada RABPN 2020, pemerintah mematok defisit anggaran sebesar Rp 307, 2 triliun atau setara dengan 1,76 % dari Produk Domestik Bruto.
Peneliti INDEF, Imaduddin Abdullah berpendapat, kebijakan amnesti pajak masih belum mendesak untuk dilakukan karena ada beberapa pertimbangan.
Pertama, pelaksanaan amnesti pajak jilid pertama yang berlangsung Juli 2016-Maret 2017 dinilai belum memberikan hasil yang efektif. Seperti diketahui, Amnesti pajak jilid I sudah berakhir pada 31 Maret 2017.
Ketika itu Sri Mulyani Indrawati menilai pelaksanaan pengampuan atau amnesti pajak itu telah berlangsung cukup baik. Tercatat penerimaan pada saat ditutup itu mencapai Rp 130 triliun, deklarasi harta Rp 4.813,4 triliun, dan repatriasi Rp 46 triliun.
Imaduddin menilai, seharusnya, amnesti pajak hanya dilakukan satu kali saja. Dengan amnesti pajak yang dilakukan berulang pada periode selanjutnya akan menimbulkan moral hazard dan esensi dari amnesti pajak untuk meningkatkan kepatuhan pajak menjadi hilang.
"Pemerintah harusnya berfokus kepada reformasi perpajakan terutama perbaikan administrasi maupun peningkatan kapasitas mengumpulkan pajak," kata Imaduddin Abdullah, dalam diskusi daring INDEF bertajuk "Utang dan Defisit APBN" pada Minggu (25/8/2019).
Aviliani, Ekonom Senior INDEF menyoroti hal senada. Menurutnya, pemerintah harus mengkaji lebih mendalam mengenai rencana memberlakukan amnesti pajak jilid kedua karena belum tentu hasilnya akan sesuai dengan harapan.
Dia menekankan, pemerintah masih perlu upaya meningkatkan kepatuhan pajak mengingat potensinya masih sangat besar mengingat, sepanjang tahun lalu, tax ratio Indonesia tercatat 11,5%, masih rendah bila dibandingkan negara lainnya di Asia Tenggara seperti Vietnam dan Kamboja.
"Dari sisi penerimaan pajak masih perlu upaya untuk meningkatkan kepatuhan pajak dari PPh 21. Potensinya masih tinggi dan pajak lain, sehingga tidak hanya menyasar yang sudah taat bayar pajak," ungkapnya.
Dalam kesempatan terpisah, praktisi pajak DDTC Danny Darussalam memandang, pemerintah harus memiliki alasan-alasan yang konkret apabila benar-benar mengakomodasi penerapan amnesti pajak jilid kedua.
Justifikasi itu berasal dari tujuan amnesti pajak, yakni untuk meningkatkan penerimaan pajak dalam jangka pendek, meningkatkan kepatuhan pajak pada masa datang, mendorong repatriasi aset, dan transisi ke sistem perpajakan yang baru. Selama ini, menurut Danny, amnesti pajak dipandang sebagai jalan keluar bagi wajib pajak (WP) yang belum patuh untuk jadi patuh.
"Ini kebijakan dari negara, harus ada justifikasi kuat untuk mengadakan tax amnesty. Mereka [pengusaha] berharap pengampunan pajak di berikutnya, ini menjadi tidak menarik lagi," kata Danny.
(hoi/hoi)
Halaman Selanjutnya >>>>
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Para Ekonom Respons Negatif Wacana Amnesti Pajak Jilid II"
Post a Comment