Search

Duet Maut Perang Dagang dan Resesi Masih Menghantui

Duet Maut Perang Dagang dan Resesi Masih Menghantui

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia lagi-lagi bergerak berlawanan arah pada perdagangan kemarin. Hal serupa pun terjadi di Asia.

Kemarin, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) finis di jalur merah dengan koreksi 0,28%. Hampir seluruh bursa saham utama Asia melemah, hanya Hang Seng yang selamat.


Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) malah menguat 0,14%. Kebalikan dari bursa saham, hampir seluruh mata uang utama Benua Kuning menguat dan tinggal menyisakan yuan China yang masih terdepresiasi.
Pasar saham merespons berbagai sentimen negatif yang beredar kemarin. Pertama, masih ada kekhawatiran soal ancaman resesi di AS setelah rilis data aktivitas manufaktur yang mengecewakan.

Pada September, angka Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur AS versi Institute for Supply Management (ISM) adalah 47,8. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 49,1.

Angka PMI di bawah 50 menunjukkan industriawan tidak melakukan ekspansi. Selain itu, skor 47,8 adalah yang terendah sejak Juni 2009.

Kedua, investor mencemaskan risiko perang dagang AS vs Uni Eropa. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memenangkan gugatan AS yang menyebut Uni Eropa memberikan subsidi kepada Airbus sehingga menimbulkan persaingan tidak sehat dengan perusahaan pembuat pesawat lainnya seperti Boeing.

Sidang panel WTO menyatakan AS menderita kerugian sampai US$ 7,5 miliar per tahun. Keputusan WTO ini menjadi pembenaran bagi rencana AS untuk menerapkan bea masuk terhadap importasi produk-produk dari Eropa. Washington mengusulkan pengenaan bea masuk bagi importasi hingga US$ 11 miliar.

Aktivitas manufaktur yang terkontraksi plus perang dagang dengan Uni Eropa sangat berisiko membuat perekonomian AS melambat, bahkan bukan tidak mungkin jatuh ke jurang resesi. Oleh karena itu, pelaku pasar semakin yakin bahwa Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) bakal terus menerapkan kebijakan moneter longgar dengan menurunkan suku bunga acuan.

Mengutip CME Fedwatch, kans penurunan Federal Funds Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 1.5-1,75% pada bulan ini mencapai 90,3%. Padahal sepekan lalu kemungkinannya tidak sampai 50%, tepatnya 49,2%.

Penurunan suku bunga acuan yang hampir pasti terjadi membuat dolar AS semakin tidak seksi. Imbalan investasi di dolar AS, terutama di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi, menjadi semakin tipis.

Akibatnya, obligasi di negara-negara berkembang Asia yang menjanjikan cuan lebih besar menjadi buruan investor, salah satunya Indonesia. Kemarin, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun turun 1,5 bps. Penurunan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang naik karena tingginya permintaan.


Jadi walau aliran modal di pasar saham sedang mampet, di mana kemarin investor asing mencatatkan jual bersih Rp 795,59 miliar, tetapi di pasar obligasi masih deras. Ini membuat rupiah masih punya modal untuk menguat.

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

(aji/aji)

Halaman Selanjutnya >>>>




Bagikan Berita Ini

0 Response to "Duet Maut Perang Dagang dan Resesi Masih Menghantui"

Post a Comment

Powered by Blogger.